Museum Balla Lompoa
Museum Balla Lompoa tidak dapat dipisahkan dengan upacara adat Accera Kalompong , upacara untuk membersihkan benda
benda ber- sejarah, pusaka kerajaan Goa yang tersimpan dalam museum
Balla Lompoa. Di Museum Balla Lompoa ini setiap selesai Shalat Id
Adha sudah menjadi tradisi dan budaya masyarakat Goa melakukan pencucian
benda-benda pusaka tersebut
Museum Balla Lompoa terletak di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan
Museum Balla Lompoa didirikan pada masa pemerintahan Raja Goawa XXXI , Mangngi Mangngi Daeng Mattutu pada tahun 1936 , Museum ini dulunya sebagai tempat raja-raja gowa. Balla Lompoa dalam bahasa makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran .
Museum Balla Lompoa didirikan pada masa pemerintahan Raja Goawa XXXI , Mangngi Mangngi Daeng Mattutu pada tahun 1936 , Museum ini dulunya sebagai tempat raja-raja gowa. Balla Lompoa dalam bahasa makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran .
Di dalam Museum Balla Lompoa terdapat
berbagai macam peninggalan kerajaan termasuk benda2 pusaka, mahkota dan
berbagai perhiasan berharga serta terpampang pula
silsilah keluarga kerajaan gowa , mulai Raja Gowa I Tomanurunga Abad
XIII sampai Raja Gowa terakhir Sultan Mohammad Abdul Kadir Aididdin A
Idjo Karaeng Lalongan 1947-1957. Bangunan utama istana berukuran 60×40
meter dan ruang penerima tamu berukuran 40×4.5 meter. seluruh bangunan
dan atapnya terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. bangunan ini
merupakan bangunan khas bugis yaitu berupa rumah panggung dan memiliki
banyak jendela. Setiap perayaan Idul Adha, diadakan upacara adat
pencucian benda-benda pusaka kerajaan
Upaca Adat Accera Kalompong
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa.
Inti upacara disebut allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14.
Benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya:
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa.
Inti upacara disebut allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14.
Benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya:
- Tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan)
- Parang besi tua (lasippo)
- Keris emas yang memakai permata (tatarapang)
- Senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga)
- Gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya)
- Kalung kebesaran (kolara)
- Anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe)
- Kancing emas (kancing gaukang)
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar) dan diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara
bersama-sama oleh para peserta upacara . Khusus untuk senjata-senjata
pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan
secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu,
dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini disaksikan oleh para
keturunan Raja-Raja Gowa, dan masayakat umum dengan syarat harus
berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Penimbangan salokoa atau mahkota
emas murni seberat 1.768 gram ( Mahkota ini pertama kali dipakai oleh
Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan
Raja- Raja Gowa berikutnya.) dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir
berlian.
Makna penimbangan ini merupakan petunjuk
bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Jika timbangan mahkota
tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi (bala)
bencana di negeri mereka. . Sebaliknya, jika timbangan mahkota
tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang
bagi masyarakat Gowa. Konon suatu waktu , mahkota yang beratnya kurang
dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang
sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban. Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus dilaksanakan oleh para keturunan mereka.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban. Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus dilaksanakan oleh para keturunan mereka.
Upacara adat Accera Kalompoang
digelar sekali setahun, yakni setiap usai shalat Idul Adha pada tanggal
10 Zulhijjah di Museum Balla Lompoa (Jl. Sultan Hasanuddin No. 48
Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan).
Selain benda-benda pusaka tersebut, juga
ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut
dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad
XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung); penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali emas pemberian Belanda. (referensi ortal Bugis)
Makam Syekh Yusuf di Kobbang perbatasan Makassar-gowa
REP | 11 October 2012 | 08:44 Dibaca: 2366 Komentar: 0 0
Terletak di jalan yang berbatasan dengan antara kabupaten Gowa dan
kota Makassar, tepatnya di jalan Syekh Yusuf, terletak makam ini.
Gerbang kota Sungguminasa terlihat dari sini. Di Timur kota Makassar,
makam ini berhampiran dengan masjid yang juga dinamai Masjid Syekh
Yusuf. Biasa juga kawasan ini disebut dengan Kobbang. Dalam keterangan
penjaga makam yang akrab dipanggil Daeng Liong, penyebutan Kobbang
sebenarnya berasal dari kata kubah. Karena pengaruh bahasa Makassar maka
berubah menjadi pelafalan Kobbang atau Ko’bang.
Peziarah kerap datang dengan semangat yang beragam. Menjadi pemandangan yang lazim jika menyaksikan diantara para pengunjung adalah anak kecil bahkan bayi, orang sakit bahkan dengan kondisi lumpuh, orang tua. Di sisi depan jalan sudah tersedia perlengkapan untuk berkunjung. Bunga pandan dan air yang biasa digunakan orang-orang Sulawesi Selatan untuk nyekar tersedia lengkap. Maka bagi peziarah yang menggunakan kelengkapan itu, tidak perlu mempersiapkan sendiri, cukup membelinya di sekitaran makam. Bahkan juga tersedia minyak goreng yang disiapkan dalam botol bekas salah satu merek minyak gosok. Minyak ini biasanya digunakan untuk melumuri nisan utama. Dalam kepercayaan penjaga kunci, nisan utama terbuat dari endapan sungai Nil, Mesir. Tidak ada pembayaran apapun ketika berkunjung ke makam. Kalaupun ada pemberian atau sedekah yang diberikan kepada petugas atau pembaca doa, maka urusan jumlah diserahkan kepada masing-masing pengunjung. Makam ini menjadi daya dukung perekonomian masyarakat sekitar masjid. Tumbuh di sisi jalan toko penjual minuman dan makanan. Penyedia jasa bunga dan air putih, juga minyak. Begitupula para penjual kambing dan ayam kampung. Sekecil apapun jumlanhnya dengan keberadaan makam ini menjadi penggerak ekonomi.
Syekh Yusuf salah satu ulama besar di zaman kolonial. Bahkan karena ketakutan penjajah akan pengaruhnya, maka Syekh Yusuf dibuang ke Faure, Cape Town, Afrika Selatan. Di saat kekalahan kerajaan Gowa, Syekh Yusuf memilih pindah ke Banten. Di wilayah Sultan Ageng bersama dengan 400 orang pendukungnya mereka membantu perjuangan kerajaan Banten melawan Belanda. Ketika Sultan Ageng dikalahkan Belanda, Syekh Yusuf ditangkap kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Di sana, beliau tetap aktif menyebarkan Islam dan mengajar murid-muridnya. Kekhawatiran Belanda masih saja terjadi karena mengetahui adanya kontak Syekh Yusuf dengan murid-muridnya di Nusantara. Kembali Belanda mengasingkan ke tempat yang lebih jauh yaitu Afrika Selatan. Ketika jenazah dibawah pulang ke Lakiung, Gowa muncullah kepercayaan kalau makam Syekh Yusuf terdapat di lima tempat yaitu di Sri Lanka, Banten, Sumenep, Makassar dan Afrika. Di setiap tempat itulah persinggahan jenazah mayat Syekh Yusuf ketika dipulangkan ke tanah Makassar. Prakarsa ini muncul dari I Mappadulung Daeng Muttiang, Raja Gowa ke-19 yang khusus meminta kesediaan VOC agar memulangkan jenazah Syekh Yusuf. Kemudian murid-muridnya yang senantiasa ingin mengambil inspirasi dari ilmu yang diajarkan masing-masing membuat makam di tiga tempat yang disinggahi jasad ulama yang diberi gelar Tuanta Salamaka yang berarti “orang yang memperoleh keberkahan dari Allah”. Tepat 6 April 1705, di Lakiung, Gowa, keranda mayat Syekh Yusuf kembali dimakamkan dan bertahan sampai hari ini.
Para pengunjung tidak saja datang ketika hari raya, terutama di hari raya idul adha tetapi sepanjang hari selalu saja dipenuhi para peziarah. Untuk menentukan waktu yang sepi berkunjung, maka amat susah menebak kapan itu. Berbagai hal menjadi pendorong semangat untuk berkunjung. Ada yang merayakan kesyukuran adapula sekedar untuk mendapatkan semangat, begitu pula ada yang berbagi kebahagiaan. Maka biasa kita saksikan ada peziarah yang melepaskan ayam atau kambing. Dalam kepercayaan para peziarah itu, “sebagai tanda kesyukuran atas anugrah Allah”. “Bukan kepada Syekh Yusuf, tetapi ini adalah tempat yang pas untuk memanjatkan kesyukuran itu”, tandas seorang pengunjung. Kadang ada juga yang menghamburkan uang logam, maka atraksi ini senantiasa menjadi saat yang dinantikan warga sekitar atau bahkan sesama pengunjung. Mereka akan berlomba memperebutkan saweran pengunjung lain. Maka, suasana akan berubah yang tadinya khusyuk dan hening menjadi riuh dan ribut.
Syekh Yusuf adalah ulama bahkan disebut wali. Dengan kemahsyurannya bahkan beliau kerap dianggap sebagai tokoh internasional. Oleh para pengikutnya diberi gelar dengan nama lengkap Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Sementara Sultan Alauddin memberinya nama dengan julukan Syech Yusuf Tajul Khalwati. Sampai sekarang tarekat Khalwatiyah tetap menjadi salah satu aliran yang ditekuni di Sulawesi Selatan. Sementara ada tiga aliran dalam tarekat yang mengakui Syekh Yusuf sebagai guru mereka yaitu Tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah.Dalam konteks kenegaraan, Indonesia dan Afrika Selatan memberikan anugerah sebagai pahlawan nasional. Ini menjadi bukti penghargaan negara atas jasa-jasa kepahlawanannya memperjuangkan kemerdekaan bagi banyak orang. Nelson Mandella dalam acara pemberian Doktor Honoric Causa di Universitas Hasanuddin menyebutnya sebagai salah satu Putra Terbaik Afrika Selatan.
Walaupun bukan menjadi kewajiban, bahkan kontroversial, berkunjung ke makam Syekh Yusuf merupakan sesuatu yang afdhal (utama) dilakukan bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Terutama yang menganut faham khalwatiyah. Seiring dengan meningkatnya pemahaman keagamaan, maka tindakan “aneh” seperti menangis atau meminta-minta di kuburan semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Makam terletak persis di samping masjid. Ada lorong yang menghubungkan antara masjid dengan makam. Di kompleks ini tidak saja makam Syekh Yusuf tetapi juga ada makam para pengikutnya. Juga terdapat sembilan makam lainnya. Tepat di sisi kiri dekat pintu masuk, terbaring jazad I Sitti Daeng Nisanga, istri beliau yang menemani di kawasan ini. Kemudian makam Karaengta Panaikang, istri I Mappadulung Daeng Muttiang bersebelahan dengan makam suami. Terdapat empat kubah di kawasan ini, kubah yang terbesar dibuat khusus untuk makam Syekh Yusuf.
Makam ini sesungguhnya menjadi tempat untuk mengingat mati. Kata Daeng Sinnong pengunjung yang berasal dar Gowa “Allah yang menjadi sandaran untuk meminta”. “Adapun makam Syekh Yusuf hanya sebagai pendorong semangat agar senantiasa mengingat kematian”. Apapun motifnya, dengan alasan apapun berkunjung ke sini, maka menjadi penting untuk melihat bahwa ketika kematian datang menjemput nama besar akan tetap dikenang kecuali dengan karya.
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna (awal abad ke-16)
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu’
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 – wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu’na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2]
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Peziarah kerap datang dengan semangat yang beragam. Menjadi pemandangan yang lazim jika menyaksikan diantara para pengunjung adalah anak kecil bahkan bayi, orang sakit bahkan dengan kondisi lumpuh, orang tua. Di sisi depan jalan sudah tersedia perlengkapan untuk berkunjung. Bunga pandan dan air yang biasa digunakan orang-orang Sulawesi Selatan untuk nyekar tersedia lengkap. Maka bagi peziarah yang menggunakan kelengkapan itu, tidak perlu mempersiapkan sendiri, cukup membelinya di sekitaran makam. Bahkan juga tersedia minyak goreng yang disiapkan dalam botol bekas salah satu merek minyak gosok. Minyak ini biasanya digunakan untuk melumuri nisan utama. Dalam kepercayaan penjaga kunci, nisan utama terbuat dari endapan sungai Nil, Mesir. Tidak ada pembayaran apapun ketika berkunjung ke makam. Kalaupun ada pemberian atau sedekah yang diberikan kepada petugas atau pembaca doa, maka urusan jumlah diserahkan kepada masing-masing pengunjung. Makam ini menjadi daya dukung perekonomian masyarakat sekitar masjid. Tumbuh di sisi jalan toko penjual minuman dan makanan. Penyedia jasa bunga dan air putih, juga minyak. Begitupula para penjual kambing dan ayam kampung. Sekecil apapun jumlanhnya dengan keberadaan makam ini menjadi penggerak ekonomi.
Syekh Yusuf salah satu ulama besar di zaman kolonial. Bahkan karena ketakutan penjajah akan pengaruhnya, maka Syekh Yusuf dibuang ke Faure, Cape Town, Afrika Selatan. Di saat kekalahan kerajaan Gowa, Syekh Yusuf memilih pindah ke Banten. Di wilayah Sultan Ageng bersama dengan 400 orang pendukungnya mereka membantu perjuangan kerajaan Banten melawan Belanda. Ketika Sultan Ageng dikalahkan Belanda, Syekh Yusuf ditangkap kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Di sana, beliau tetap aktif menyebarkan Islam dan mengajar murid-muridnya. Kekhawatiran Belanda masih saja terjadi karena mengetahui adanya kontak Syekh Yusuf dengan murid-muridnya di Nusantara. Kembali Belanda mengasingkan ke tempat yang lebih jauh yaitu Afrika Selatan. Ketika jenazah dibawah pulang ke Lakiung, Gowa muncullah kepercayaan kalau makam Syekh Yusuf terdapat di lima tempat yaitu di Sri Lanka, Banten, Sumenep, Makassar dan Afrika. Di setiap tempat itulah persinggahan jenazah mayat Syekh Yusuf ketika dipulangkan ke tanah Makassar. Prakarsa ini muncul dari I Mappadulung Daeng Muttiang, Raja Gowa ke-19 yang khusus meminta kesediaan VOC agar memulangkan jenazah Syekh Yusuf. Kemudian murid-muridnya yang senantiasa ingin mengambil inspirasi dari ilmu yang diajarkan masing-masing membuat makam di tiga tempat yang disinggahi jasad ulama yang diberi gelar Tuanta Salamaka yang berarti “orang yang memperoleh keberkahan dari Allah”. Tepat 6 April 1705, di Lakiung, Gowa, keranda mayat Syekh Yusuf kembali dimakamkan dan bertahan sampai hari ini.
Para pengunjung tidak saja datang ketika hari raya, terutama di hari raya idul adha tetapi sepanjang hari selalu saja dipenuhi para peziarah. Untuk menentukan waktu yang sepi berkunjung, maka amat susah menebak kapan itu. Berbagai hal menjadi pendorong semangat untuk berkunjung. Ada yang merayakan kesyukuran adapula sekedar untuk mendapatkan semangat, begitu pula ada yang berbagi kebahagiaan. Maka biasa kita saksikan ada peziarah yang melepaskan ayam atau kambing. Dalam kepercayaan para peziarah itu, “sebagai tanda kesyukuran atas anugrah Allah”. “Bukan kepada Syekh Yusuf, tetapi ini adalah tempat yang pas untuk memanjatkan kesyukuran itu”, tandas seorang pengunjung. Kadang ada juga yang menghamburkan uang logam, maka atraksi ini senantiasa menjadi saat yang dinantikan warga sekitar atau bahkan sesama pengunjung. Mereka akan berlomba memperebutkan saweran pengunjung lain. Maka, suasana akan berubah yang tadinya khusyuk dan hening menjadi riuh dan ribut.
Syekh Yusuf adalah ulama bahkan disebut wali. Dengan kemahsyurannya bahkan beliau kerap dianggap sebagai tokoh internasional. Oleh para pengikutnya diberi gelar dengan nama lengkap Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Sementara Sultan Alauddin memberinya nama dengan julukan Syech Yusuf Tajul Khalwati. Sampai sekarang tarekat Khalwatiyah tetap menjadi salah satu aliran yang ditekuni di Sulawesi Selatan. Sementara ada tiga aliran dalam tarekat yang mengakui Syekh Yusuf sebagai guru mereka yaitu Tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah.Dalam konteks kenegaraan, Indonesia dan Afrika Selatan memberikan anugerah sebagai pahlawan nasional. Ini menjadi bukti penghargaan negara atas jasa-jasa kepahlawanannya memperjuangkan kemerdekaan bagi banyak orang. Nelson Mandella dalam acara pemberian Doktor Honoric Causa di Universitas Hasanuddin menyebutnya sebagai salah satu Putra Terbaik Afrika Selatan.
Walaupun bukan menjadi kewajiban, bahkan kontroversial, berkunjung ke makam Syekh Yusuf merupakan sesuatu yang afdhal (utama) dilakukan bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Terutama yang menganut faham khalwatiyah. Seiring dengan meningkatnya pemahaman keagamaan, maka tindakan “aneh” seperti menangis atau meminta-minta di kuburan semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Makam terletak persis di samping masjid. Ada lorong yang menghubungkan antara masjid dengan makam. Di kompleks ini tidak saja makam Syekh Yusuf tetapi juga ada makam para pengikutnya. Juga terdapat sembilan makam lainnya. Tepat di sisi kiri dekat pintu masuk, terbaring jazad I Sitti Daeng Nisanga, istri beliau yang menemani di kawasan ini. Kemudian makam Karaengta Panaikang, istri I Mappadulung Daeng Muttiang bersebelahan dengan makam suami. Terdapat empat kubah di kawasan ini, kubah yang terbesar dibuat khusus untuk makam Syekh Yusuf.
Makam ini sesungguhnya menjadi tempat untuk mengingat mati. Kata Daeng Sinnong pengunjung yang berasal dar Gowa “Allah yang menjadi sandaran untuk meminta”. “Adapun makam Syekh Yusuf hanya sebagai pendorong semangat agar senantiasa mengingat kematian”. Apapun motifnya, dengan alasan apapun berkunjung ke sini, maka menjadi penting untuk melihat bahwa ketika kematian datang menjemput nama besar akan tetap dikenang kecuali dengan karya.
Kompleks makam keturunan raja gowa
Tempat Pemakaman Umum (TPU)
Jl katangka, Gowa,RAJA GOWA
1. Tumanurunga (+ 1300)2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna (awal abad ke-16)
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu’
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 – wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu’na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2]
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
The Casinos of San Francisco, CA
BalasHapusThe Casinos of San 경주 출장샵 Francisco, CA · Best known as the Top 부천 출장샵 20 Casinos in the World · 5. Treasure Island Casino 의왕 출장마사지 & 전라북도 출장샵 Resort · 4. Treasure Island Casino & Resort 김천 출장마사지 · 3. San